Untuk Apa Berpuasa

Buku ini adalah serial diskusi tasawuf modern yang ke-4 yang ditulis oleh Agus Mustofa dan diterbitkan oleh Padma Press, Surabaya tahun 2004. Buku ini terdiri dari 250 halaman dan 4 bab pembahasan yaitu Penyakit Modern; Berpuasa Lebih Baik Bagimu; Bukan Cuma Lapar dan Haus; dan Berpuasa Mudah-mudahan Bertakwa.

Agus Mustofa adalah lulusan Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Nuklir, Universitas Gadjahmada Yogyakarta. Ia juga mantan wartawan Koran Jawa Pos. Tipikal pemikiran yang unik pada dirinya, yang disebutnya sebagai ‘Tasawuf Modern’ merupakan perpaduan antara ilmu tasawuf dan sains. Menurut saya ini adalah salah satu bentuk tafsir kekinian untuk memahami Al-Qur'an.

Buku ini memberikan kita tiga hal yang menarik mengenai puasa. Yang pertama, sabda Rasulullah saw, bahwa banyak di antara kita yang berpuasa secara sia-sia. Kedua, sesungguhnya berpuasa adalah lebih baik daripada tidak berpuasa, jika kita mengetahui. Ketiga, puasa adalah sebentuk ibadah yang bisa mengubah kualitas jiwa seorang muslim dari ‘beriman’ menjadi ‘bertakwa’ hanya dalam waktu sebulan. Tentunya poin di atas masih perlu penjelasan utuh agar penjelasan tersebut mengantarkan kita pada pemahaman yang lebih holistis. Berikut penjelasannya!

Penyakit Modern

Kehidupan modern identik dengan kehidupan maju, dan menjanjikan berbagai fasilitas kenyamanan hidup. Mulai makanan, minuman, pakaian, transportasi, komunikasi, sampai dunia hiburan. Wajah alamiah lingkungan kita telah berubah menjadi semakin sintesis dan instan.

Dan lebih jauh lagi, kemajuan peradaban juga telah semakin menjauhkan sosok manusia dari fitrahnya sendiri sebagai makhluk spiritual. Seringkali, agama justru dianggap sebagai belenggu dan beban dalam kehidupan manusia. Sehingga beragama telah berubah menjadi sekedar formalitas dan ritual belaka. Atau, bahkan banyak yang mulai menanggalkannya dari keseharian hidupnya “meskipun KTP-nya masih menunjukkan bahwa ia beragama”.

Maka, apakah yang seharusnya kita lakukan? Kuncinya, agaknya cuma satu, yaitu kembali kepada keseimbangan penciptaan kita sebagai manusia yang ditugasi menjadi khalifatu fil ardhi “manajer planet Bumi yang bijaksana.” Di mana ‘juklak’ (petunjuk pelaksanaan) ada di dalam firman-firman Allah SWT di dalam al Qur’an al Karim.

Berpuasa Lebih Baik Bagimu

Baik manakah, berpuasa atau tidak berpuasa? Secara garis besar ada tiga macam jawaban. Pertama, lebih baik tidak berpuasa. Kedua, ragu-ragu. Ketiga, mereka yang merasa yakin bahwa berpuasa memiliki manfaat yang jauh lebih besar dibandingkan tidak berpuasa. Yang terakhir bersandar pada (Q.S. Al Baqarah: 184). “…… Dan berpuasa lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.

Badan memiliki 3 tahapan dalam memproses makanan yang masuk ke tubuh. Yaitu, mencerna pada siang hari, menyerap dan metabolisme pada malam hari, dan akhirnya membuang sampah hasil metabolisme pada pagi hari. Pola makan manusia modern tidak berpatokan pada itu sehingga membebani kerja tubuh. Jika dalam waktu singkat saja pola makan kita amburadul itu tidak menjadi masalah, tapi kalau sudah jangka lama maka tentu akan terjadu gangguan. Maka puasa di sini mencoba mengistirahatkan tubuh dari kerja berat.

Tubuh memiliki sistem canggih berupa kemampuan alarm alamiah dan kemampuan pemulihan sendiri. Kemampuan alarm alamiah itu contohnya seperti haus. Rasa haus itu sebenarnya adalah alarm yang mengingatkan kita agar menambah cairan tubuh. Begitupun dengan lapar dan ngantuk.

Menurut penelitian J. Kellberg dan Reizenstein dari Finlandia, tubuh kita memiliki kemampuan untuk menyembuhkan diri sendiri alias memulihkan kondisi menuju pada keseimbangan alamiahnya asalkan diberi kesempatan. Masalahnya kita sering menolak memberikan kesempatan untuk tubuh melakukan pemulihan, contohnya ketika kita mengantuk otomatis kita minum kopi untuk melawannya saat pekerjaan di kantor menumpuk. Dengan berpuasa, kita memberikan kesempatan tubuh melakukan pemulihan.

Ada tiga proses yang terjadi saat kita berpuasa. Pertama, proses detoksifikasi alias ‘penggelontoran racun-racun sisa metabolisme. Kedua, proses rejuvenasi atau peremajaan kembali. Ketiga, adalah stabilisasi alias pemantapan sistem. Jika kita berpuasa 30 hari di bulan ramadhan, maka pembagiannya masing-masing 10 hari.

Bukan Cuma Lapar dan Haus

Puasa bukan cuma menahan lapar dan menahan haus. Puasa juga berbeda dengan diet. Puasa memiliki dimensi kejiwaan, sedangkan diet hanya dimensi fisik. Dalam berbagai penelitian tentang puasa, disepakati bahwa puasa adalah aktivitas yang melibatkan dimensi fisik, jiwa, dan spiritual. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana, puasa bersifat ‘lahir dan batin’.

Sehat bukan hanya sekedar sehat fisik. Menurut Undang-undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 menyebut bahwa “sehat adalah keadaan sehat fisik, mental, sosial, dan spiritual yang membuat seseorang produktif dan bernilai ekonomis”. Dengan puasa kita bisa menjadi sehat.

Kebanyakan dari kita menjadikan lapar dan dahaga sebagai cara untuk mencapai tujuan puasa. Dalam konteks inilah kritik Rasulullah saw tentang orang yang hanya mendapat lapar dan dahaga dalam berpuasa, harus kita pahami. Karena kecenderungan kita dalam beragama ini terjebak menjadikan ‘tata cara’ sebagai tujuan. Baik shalat, haji, zakat maupun puasa.

Berpuasa Mudah-Mudahan Bertakwa

Proses keagamaan kita sebenarnya bakal menapaki tiga tingkatan kualitas. Tingkatan pertama adalah Beriman (keyakinan). Tingkatan kedua Bertakwa (amalan). Dan ketiga adalah Berislam (berserah diri). Sesuai firman Allah “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam (berserah diri)” (Q.S. Ali Imran: 102)

Puasa adalah tata cara ibadah yang bertujuan untuk menjadikan pelakunya sebagai orang yang bertakwa. Yaitu tingkatan kedua di dalam proses beragama. Hal ini disebutkan Allah SWT di dalam firmanNya berikut “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”.(Q.S. Al Baqarah: 183).

Bertakwa adalah kemampuan mengontrol diri dari perbuatan-perbuatan yang merugikan. Secara umum ada 4 hal yang perlu dikontrol dalam kehidupan kita. Pertama, kontrol fisik yang meliputi dua hal yaitu diri sendiri sendiri untuk sehat dan kontrol lingkungan agar hidup nyaman. Kedua, kontrol psikis agar tidak menyebabkan penyakit hati seperti pemarah, pendendam, iri, dengki, dll. Ketiga, kontrol sosial yang memerlukan hubungan sosial. Keempat, kontrol spiritual. Kualitas hidup tertinggi seorang manusia adalah dalam kadarnya sebagai makhluk spiritual. Bukan makhluk individual atau makhluk sosial.

Parameter untuk mengukur keberhasilan puasa adalah (1) badan lebih sehat, (2) emosi lebih rendah, (3) pikiran lebih jernih, (4) sikap lebih bijaksana, (5) hati lebih lembut dan peka (6) ibadahnya lebih bermakna, (7) lebih tenang dan tawadlu’ dalam hidup.

Setidak-tidaknya ada 4 manfaat yang bisa diperoleh umat Islam lewat bulan Ramadhan. Yaitu, manfaat yang bersifat lahiriah berupa kesehatan dan ketajaman serta kejernihan berpikir. Manfaat batiniah yang bersifat meneguhkan keyakinan dan pengendalian diri dalam mengarungi kehidupan. Manfaat sosial yang berfungsi membangun kembali sendi-sendi kehidupan sosial agar diperoleh format kehidupan kolektif yang adil dan sejahtera. Serta manfaat spiritual berkaitan dengan pendekatan kita kepada Allah Sang Pencipta, sebagai puncak dari tujuan hidup dan ibadah kita.

Kritik Subjektif Resentor

Tidak ada kejelasan bab dalam daftar isi, sehingga kita harus membuka satu per satu bagian pembahasan untuk membedakan setiap bab. Dan juga, masih ada beberapa typo dalam kalimat sehingga mengurangi rasa nyaman dalam membaca serta pembahasan yang melompat-lompat, misalnya  pembahasan sisi medis (kesehatan) terhadap puasa yang seharusnya sudah selesai pada awal bab,m tapi muncul lagi pada akhir bab.

Mungkin pembaca tidak cukup hanya membaca satu buku untuk memahami cara berpikir dan metode penulisan Agus Mustofa.T Terutama saya ingin mengingatkan,ntuk bahwa untuk menerapkan isi dari buku ini, khususnya dari sisi medis dan kesehatan, kita perlu rujukan buku lain dan juga jurnal ilmiah sebagai bahan pertimbangan untuk menguji kebenaran.

Posting Komentar

0 Komentar