Buku ini merupakan karya dari M. Supraja, yang berupaya memaparkan studi pemikiran lima feminis muslim di Indonesia. Permasalahan subordinasi, ketidakadilan, dan diskriminasi terhadap perempuan merupakan permasalahan yang sudah tercatat rapi di dalam sejarah. Bahkan, masalah ini sampai sekarang masih terus menjadi topik pembahasan masyarakat. Tetapi, pembahasan yang terjadi mengarah kepada konsep yang membudaya di masyarakat terhadap posisi perempuan yang hanyalah sebatas lingkaran sumur, dapur, dan kasur.
Seiring dengan bergulirnya zaman, muncul berbagai pembelaan yang mengatasnamakan keadilan, untuk meposisikan perempuan sejajar dengan hak yang dimiliki oleh laki- laki. Bahkan di beberapa argumentasi dan kegiatan, banyak pula peengembangan konsep bahwa perempuan harus lebih superior dibanding laki-laki.
Pembelaan terhadap makhluk yang sering hanya dijadikan sebagai objek ini, muncul dari berbagai kalangan dengan perspektif yang berbeda-beda. Awalnya, feminis Indonesia yang berani menyuarakan pembelaannya adalah R.A. Kartini dan Siti Walidah, mereka dikenal sebagai feminis yang memiliki komitmen kemanusiaan yang tinggi. Hingga saat ini, terdapat lima feminis muslim yang dapat mewakili berbagai perbedaan perspektif di kalangan feminis muslim Indonesia; yaitu Siti Musdah Mulia, Siti Ruhaini Dzuhayatin, Ratna Megawangi, Zaitunah Subhan, dan Masdar Mas’udi. Berikut penjelasan ringkas tentang perspektif yang dikemukakan oleh kelima feminis tersebut:
Musdah Mulia: Melawan Ideologi Patriarki
Menurut Musdah terdapat tiga faktor penyebab mengapa ketidakadilan atau ketimpangan gender dapat terjadi, yaitu; dominasi budaya patriarki, interpretasi ajaran agama sangat didominasi pandangan yang bias gender dan bias nilai-nilai patriarki, dan hegemoni negara yang begitu dominan. Dari berbagai penelitian berdasarkan data yang digunakan oleh Musdah, sebenarnya feminis ini ingin menyampaikan sebuah pesan bahwa terjadi kepincangan sumber tentang persoalan gender yang sedang marak ini. Musdah menemukan dari 100 buku yang ada, hanya 36 buku yang ditulis oleh pengarang Indonesia, sementara dari segi penulisnya, 8 buku ditulis oleh perempuan, dan hanya 2 buku yang ditulis oleh perempuan muslim Indonesia yang membuat pandangan akan perempuan di masyarakat seakan jauh dari perspektif Islam.
Melihat kemirisan yang sebenarnya terjadi, maka solusi yang ditawarkan oleh Musdah adalah; pertama melakukan pembongkaran akar budaya (counter ideology) dan counter hegemony. Bagi Musdah, perempuan bukanlah sebuah objek, subordinasi, yang sama sekali jauh dari sifat Islam yang dinamis, progresif, kritis, dan adil. Islam sangat menghargai dan memberikan kedudukan yang mulia bagi perempuan.
Ruhaini: Teologi Feminis
Ruhaini mengemukakan, dalam Al-Qur’an diterangkan bahwa kedatangan Nabi Muhammad Saw. bertujuan untuk membebaskan umat manusia dari belenggu penindasan yang menghilangkan integritas kemanusiaan mereka. Selain itu, mengajarkan keesaan Tuhan serta menguraikan berbagai kisah penindasan yang berlangsung di era Muhammad Saw. Namun, setelah Beliau Saw. wafat, berbagai bentuk degradasi moral pun terjadi, bahkan kemunduran moral dan kemanusiaan.
Dari kondisi ini, Ruhaini ingin menunjukkan bahwa telah terjadi pembelokan tafsir terhadap ayat dari semangat yang dinamis, progresif, dan kontekstual, menuju penafsiran yang sebaliknya, merendahkan dan melemahkan perempuan. Contohnya, permasalahan poligami yang bermunculan dan didukung oleh berbagai argumentasi yang dipakai untuk mendukungnya. Konsep dasar poligami dalam Islam yang tercantum dalam surat Al-Nisa (4): dimaksudkan sebagai jaminan sosial bagi anak-anak yatim dan para janda, bukan untuk mengakomodasi dorongan seksualitas laki-laki, sebagaimana asumsi kultural yang tercermin dalam tafsir-tafsir Al-Qur’an.
Ratna Megawangi: Lelaki dan Perempuan Saling Melengkapi
Membaca pemikiran feminis Ratna, memang terasa sekali berbeda dengan dua tokoh feminis sebelumnya. Di mana, mereka pada umumnya mempersoalkan keberadaan budaya patriaki sebagai sumber penyebab munculnya ketimpangan gender. Tetapi, Ratna justru tidak menilai struktur dan budaya patriaki sebagai “terdakwa” yang layak dijadikan penyebab munculnya masalah ketimpangan gender. Karena menurutnya, struktur dan budaya patriaki tetap relevan dengan “kodrat” lelaki yang memiliki sifat cenderung melindungi, bertanggung jawab, aktif, tegas. Dan wanita yang memiliki karakter cinta, kasih sayang, lemah lembut, serta pasif. Baginya, kedua karakter itu saling melengkapi, tak bisa dilihat sebagai sifat yang saling terpisah secara dikotomis, sebagaimana konsepsi ini dalam filsafat taoisme dikenal sebagai perpaduan unsur Yin dan Yang.
Zaitunah Subhan: Kemitraan Lelaki-Perempuan
Menurut hasil kajian Zaitunnah atas tiga karya tafsir al-Qur’an yang masing-masing ditulis oleh Hamka (al-Azhar), Depag (tafsir terbaru), dan Mahmud Yunus, dinyatakan bahwa tidak satupun dari kitab tafsir itu yang menyebutkan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk kaum lelaki. Pandangan para ulama tafsir Indonesia tentang asal penciptaan wanita, dalam hal ini Hawa, sama dengan penciptaan Adam, yaitu dari satu nafs (nafs wahidah). Dari awal penciptaan manusia, baik pria maupun wanita, sudah menunjukkan adanya kemitraan.
Selain itu, Zaitunnah berpandangan bahwa suami merupakan kepala keluarga, sedangkan istri juga disebut pemimpin di rumah suaminya. Keduanya memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan kepemimpinannya, sehingga hal ini menunjukkan adanya pembagian tugas antara suami dan istri, meskipun tidak dibatasi secara ketat, dalam arti yang lain tidak peduli dengan tugas-tugas lain selain tugasnya sendiri. Hal ini menegaskan adanya kemitraan dalam peran dan tugas masing-masing di dalam pertanggungjawaban keluarga. Jadi, persoalan perempuan dan laki- laki tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Masdar F. Mas’udi
Menurut Masdar Mas’udi, posisi wanita secara normatif begitu dijunjung tinggi di dalam Islam. Posisi perempuan dan laki-laki dalam banyaknya ayat al-Qur’an adalah setara contohnya pada Al-Hujurat [49:13]. Dalam surah tersebut, jelas bahwa derajat ketakwaan bisa dicapai orang, apapun jenis kelaminnya. Juga, di dalam agama Islam, hanya kadar ketakwaanlah yang membedakan derajat seseorang di hadapan Tuhannya.
Dalam kadar rumah tangga, al-Qur’an menjelaskan “istri adalah pakaian/pelindung bagi suami, dan suami adalah pakaian/pelindung bagi istri.” Bagi Masdar, sudah jelas kedudukan, hak, dan tanggung jawab mereka sebagai manusia, di hadapan Allah Swt, diantara sesama manusia, demikian juga dalam keluarga.
Penutup
Perempuan dan laki-laki merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Mereka adalah satu kesatuan yang saling membutuhkan. Karena alasan saling membutuhkan inilah, maka tidak sewajarnya perempuan dijadikan sebagai hal yang disubordinasikan terhadap laki-laki. Perempuan juga merupakan seorang pemimpin bagi keluarganya, karena mereka adalah subjek yang tetap mempertanggungjawabkan secara mandiri apa yang mereka lakukan sebagai manusia.
Wanita dalam Islam mendapat semua hak sebagai pribadi yang mandiri, bukan karena mereka menjadi ibu dan istri, bukan secara kebetulan karena kodratnya (melahirkan, menyusui, mengandung), melainkan karena ia adalah makhluk manusia yang sempurna. Menjadi ibu adalah sesuatu yang bersifat insidental bagi eksistensinya sebagai seorang individu atau pribadi yang mandiri.
0 Komentar