Sejarah Mandar; Masa Kerajaan Hingga Sulawesi Barat

Untuk menjadi sebuah bangsa yang besar kita tentu harus mengenal sejarah bagaimana dan sejauh apa perjalanan sebuah bangsa itu berjalan. Dalam jargon Soekarno seperti dalam judul pidatonya berkata: “jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah” betapa sejarah sangat penting posisinya sebagai salah satu pilar kebangsaan untuk terhindar dari persoalan disintegritas bangsa.

Mandar setelah mengalami proses yang panjang dalam menjadi bayang-bayang etnis Makassar dan Bugis akhirnya mendapat posisi yang setara dengan etnis besar di pulau Sulawesi itu setelah membentuk sebuah provinsi tersendiri: Provinsi Sulawesi Barat. Dalam buku Edward L. Poelinggomang: ‘Sejarah Mandar - Masa Kerajaan hingga Sulawesi Barat’ membawa kita ke sejarah awal dari era monarki hingga kolonial kendati pun tidak begitu spesifik. Dalam buku ini ada dua bagian sejarah Mandar yang dijelaskan, yaitu sejarah Mandar era kerajaan dan Mandar setelah menjadi Sulawesi Barat.

Mandar Era Kerajaan

Mulanya Mandar terdiri dari para Tomakaka yang berdaulat atas kerajaannya sendiri, sayangya beberapa Tomakaka tidak mengayomi rakyatnya dan hanya sibuk saling berseteru. Diantaranya Tomakaka Passokkorang, Tomakaka Lerang, Tomakaka Lempong sehingga beberapa Tomakaka lain berinisiatif untuk menyelesaikan persoalan ini. Terbentuklah perserikatan appe banua kayyang (empat negeri besar) yang terdiri dari Tomakaka Napo, Tomakaka Sumasundu, Tomakaka Mosso dan Tomakaka Todang-Todang yang nantinya sebagai asal muasal Kerajaan Balanipa.

Ketika kita membincang perihal sejarah Mandar maka kita tidak akan terlepas dari sejarah kerajaan Balanipa terkhusus perihal sejarah raja pertamanya: I Mayambungi Todilaling sebab Todilaling adalah raja pertama Balanipa yang meredam seluruh perseteruan antara Tomakaka atau raja-raja yang berseteru di wilayah Mandar. I Mayambungi Todilaling setelah sebelumnya ia dipali (diasingkan/dibuang) oleh Puang di Mandar karena telah membunuh sepupunya sendiri dalam sebuah pertarungan sabung ayam—akhirnya kembali dipanggil pulang untuk menyelesaikan persoalan di tanah Mandar. Sebagai orang yang menempah diri di kerajaan Gowa serta pernah menjadi tobarani di sana, maka Todilaling dianggap orang yang paling pas. Lalu setelah mampu menenangkan perseteruan itu kemudian sebagai bentuk penghargaan maka diangkatlah Todilaling sebagai raja pertama Balanipa. Pengangkatan Todilaling ini juga megubah beberapa tatanan struktur adat di Mandar termasuk penamaan Tomakaka yang berubah menjadi Pappuangan.

Tetapi Mandar sebagai identitas kemudian diperjelas dengan sebuah perjanjian Allamungang Batu di Luyo pada masa raja Balanipa kedua Tomepayung yang tidak lain dan tak bukan adalah anak dari Todilaling. Tomepayung adalah raja yang menghimpun dan mempersatukan 14 kerajaan. 7 kerajaan di hulu yaitu Pitu Ulunna Salu atau dalam beberapa literatur disebutkan 7 keraajaan yang berada di daerah gunung dan 7 kerajaan di hilir, Pitu Babana Binanga atau 7 kerajaan yang berada di pesisir. Berlandaskan dari perjanjian tersebut maka letak dan luas teritori wilayah Mandar terbentang dari Paku sampai dengan Suremana.

Mandar Era Sulawasi Barat

Salah satu berkah reformasi selain demokrasi adalah lahirnya otonomi daerah atau pemberian hak untuk mengelola daerah sendiri secara otonom—yang mana banyak daerah melihat ini sebagai peluang untuk pemekaran wilayah, termasuk yang terjadi di Sulawesi Barat. Banyak tokoh-tokoh intelektual Sulawesi Barat yang besar di kota lain seperti Jakarta dan Makassar telah memiliki pandangan jauh hari bahwa Mandar sebagai sub etnis di Sulawesi Selatan seharusnya memiliki posisi yang sama dengan etnis lain, sehingga lahirlah pemikiran untuk memekarkan provinsi Mandar.

Penentuan letak teritorial Sulawesi Barat tidak lepas dari tatanan pemerintaha swapraja (Zelfbestuur landschap) peninggalan Belanda. Di Mandar setelah divide at impera berhasil memecah-belah kerajaan, akhirnya lahirlah sebuah sistem pemerintahan baru, yang mana Belanda membagi wilayah Mandar menjadi Afdeling Mandar dan membaginya dalam beberapa onderafdeling lagi di antaranya onderafdeling Polewali, Majene, Mamasa, Mamuju.

Dalam perjuangan memekarkan provinsi Mandar, banyak tokoh yang memberi sumbangsih ide dan tenaga. Sayangnya dari segi finansial sangatlah kurang tokoh perjuangan Sulawesi Barat yang memilikinya, sehingga pada titik ini muncullah nama Anwar Adnan Saleh yang dianggap mampu mendukung perjuangan secara finansial. Anwar diibaratkan penendang terakhir bola yang sudah berada di depan gawang tanpa penjaga dalam sejarah perjuangan Sulawesi Barat.

Dalam buku ini sebagai buku sejarah, tidak cukup untuk menjadi representasi dari sejarah Mandar secara komprehensif. Sebab jika dilihat dari apa yang telah dijabarkan dan yang telah disampaikan penulisnya dalam kata pengantar bukunya tersebut, mengatakan bahwa buku ini cukup menjadi sebuah pengantar sejarah Mandar. Apalagi dalam bagian penjelasan sejarah pembentukan Sulawesi Barat yang rasanya masih banyak bagian yang belum dijelaskan, seperti pada bagian kenapa Provinsi Mandar sebagai nama awal pembentukan berubah menjadi Provinsi Sulawesi Barat, atau apa yang menjadikan kabupaten Mamuju lebih dipilih sebagai ibu kota Sulawesi Barat ketimbang kota-kota yang lainnya. Banyak hal yang luput dari buku ini. Barangkali penulis menjaga potensi terjadinya konflik sosial dan kesukuan Sulawesi Barat yang masih banyak belum bisa menerima sebuah fakta sejarah dan sangat reaktif terhadap persoalan yang menyangkut kesukuan.

Posting Komentar

0 Komentar