Surat Cinta Untuk Negeri Seribu Labirin

Buku Surat Cinta untuk Negeri Seribu Labirin adalah buku yang ditulis oleh beberapa penulis, diantaranya; Fitriani Andriani Fakdawer, J. Edward T, Natalia Dessy, Rasid Woretma, dan Wempi Moom. Diterbitkan oleh Cerah Budaya Indonesia pada tahun 2018, buku ini terdiri atas 101 halaman.

Buku ini hadir sebagai bentuk keresahan yang terjadi di Provinsi Papua Barat yang diceritakan melalui bait-bait puisi yang memiliki makna mendalam bagi para pembaca hingga menusuk relung hati yang paling terdalam ketika si pembaca mulai membaca bait per bait, serta kata pe rkata yang mereka tuangkan dalam buku ini. 

Fitriani Adriani Fakdawer memulainya dengan puisinya berjudul “Terjerat Candu Lem” dari suku kokoda yang memotret kondisi sosial anak yang berusia 5-10 Tahun yang kecanduan lem aibon (lem perekat serbaguna). Kemudian dilanjutkan oleh Natalia Dessy dengan puisi “Surat dari Bonafisia” yang memotret kegigihan perjuangan seseorang siswi yang bernama Bonafisia Magdalena dari Suku Sebyar di teluk Bentuni.

Wempi Moom melanjutkan untaian sastra dengan puisi yang berjudul “ Cinta dan Maskawin” yang menjelaskan tentang permasalahan cinta dan mas kawin. Lalu J. Edward T dengan judul puisi “Kutitipkan Mimpiku Padamu“ yang membicarakan tentang persoalan cinta yang kandas karena perbedaan agama dan budaya perdukunan dalam menyelesaikan permasalahan sosial. Dan buku ini ditutup oleh Rasid Woretma dengan puisi yang berjudul “Kuludahi Wajah Moyang” yang menceritakan tentang penjualan tanah adat kepada perusahaan Migas yang hanya memperkaya sebagian orang, sedangkan masyarakat adat tetap miskin.

Pelukan Papua dari Sebuah Buku

Buku ini sangat menarik dibaca bagi para penggemar pembaca yang mulai berkurang dikarenakan hiruk pikuk tren yang katanya “Zaman Now”. Bisa dibilang pembaca buku mulai kehilangan tempat khusus nya terutama untuk para pelajar, buku ini bisa menjadi penggugah hati bagi para pembacanya yang seperti merasakan penderitaan apa yang saudara-saudara kita rasakan di Papua sana.

Kisah dimulai dari cerita tentang anak-anak yang seharusnya masih duduk di bangku sekolah, bermain bersama temannya, dan menikmati rasa kasih sayang terhadap orang tua, tetapi malah ikut membantu kedua orang tua mencari sesuap nasi. Dan ironisnya, mereka tidak diperhatikan oleh orang tua mereka dikarenakan orang tua sibuk mencari makanan untuk anak-anaknya setiap hari, dan tidak mengetahui bahwa si anak telah terjerumus ke dalam kegelapan dan tak satupun yang bisa menyelamtkannya, yang mereka katakan ketika dimarahi seseorang adalah “ Aiss.... tong sudah malas sekolah kakak! Tong mau jalan cari bestu (besi tua), dan kaleng saja biar bisa jual dapat uang, baru beli lem aibon”. Entah siapa yang harus disalahkan di sini, entah Pemerintah atau orang tua, intinya mereka hanya butuh kasih sayang.

Dilanjut dengan kisah “Kutitipkan Mimpiku Padamu” yang berkisah tentang seseorang yang bernama Basri yang memiliki keikhlasan dan ketulusan hati tanpa membedakan siapapun, dan ikhlas memberikan pertolongan kepada siapa saja tanpa mengenal suku, ras, dan agama. Kemudian kisah dari Bonifisia yang bisa kita pelajari dari kegigihan dan semangat dalam belajarnya, serta perjuangannya dalam memperbaiki nasib keluarganya. Ini bisa menjadi contoh bagi para pembaca dalam kehidupan sehari-hari.

Kemudian puisi yang berjudul “Kuludahi Wajah Moyang” yang menjadi potret utama kegelisahan di karenakan sifat tamak dari sebagian orang yang tergiur dengan tawaran para pemegang uang dan tega menjual tanah dikarenakan mutlaknya kekuasaan kepala suku. Mereka ditawari dengan segala kesenangan tanpa sadar bahwa mereka akan binasa dikarenakan kepolosan mereka. Dan sekarang hampir sebagian besar masyarakat pribumi Papua tinggal di pinggiran hutan, pantai, sungai yang bukan miliknya sendiri. Miris dan memilukan. Tanah telah terjual, harta karun digadaikan. Gugat menggugat, palang memalang, saat ini menjadi pertunjukan yang rutin telah terjadi. Dan kembali lagi dipertanyakan; semua ini ulah siapa?

Dan yang terakhir persoalan cinta dan maskawin yang sebenarnya bukan hanya di daerah Papua sana, namun telah menjadi problem banyak di daerah-daerah lain yang juga mempersoalkan maskawin yang begitu mahal. Dan ketika mahar telah ditentukan, maka wajib hukumnya bagi si pelamar untuk menunaikannya. Tetapi jikalau si pelamar tidak sanggup, maka cinta antara dua sejoli ini akan pupus bagaikan debu yang dihantam ombak. Dan timbullah problem baru yang biasa disebut dengan istilah kawin diluar nikah. Ini menjadi salah satu problem maraknya seks bebas terjadi di Indonesia pada umumnya. Semoga melalui untaian puisi dalam buku ini, kita semua tergerak untuk mengubah masyarakat kita menjadi lebih beradab dan penuh cinta. Salam peluk untuk Papua.

Posting Komentar

0 Komentar