Mulanya kita mengira bahwa seluruh sarjana adalah para intelektual. Para doktor dan guru besar di universitas adalah golongan yang auto-intelektual. Ternyata pandangan itu keliru. Menyandang gelar intelektual tidak semudah yang kita sangka. Edward W. Said dalam bukunya Representation of Intellectual akan menjelaskan secara rinci perihal intelektual yang hakiki itu seperti apa dan seharusnya berperilaku bagaimana.
Edward W. Said adalah seorang Palestina kelahiran Yerusalem berkebangsaan Amerika. Dia dosen sastra di Universitas Columbia sekaligus kritikus budaya yang sangat berpengaruh di dunia. Dia juga intelektual yang getol memperjuangkan hak-hak Palestina. Dia berpegang teguh pada kebenaran, bahwa sesulit apapun situasinya, kebenaran harus disampaikan. Dengan pandangan dan perjuangannya yang tak pandang bulu itu, akhirnya membuat dia memiliki nasib serupa dengan Noam Chomsky, menjadi intelektual yang diasingkan oleh komunitas para intelektual, dan bahkan seluruh dunia.
Sebelum memberikan pengertian tentang intelektual, terlebih dahulu Edward Said membandingkan dua makna intelektual dengan menggunakan pandangan pemikir Perancis Julien Benda yang menganggap intelektual sebagai sosok ideal: sang moralis dengan kegiatannya yang merupakan perlawanan terhadap realisme massa. Pandangan Antonio Gramsci yang membagi intelektual menjadi dua bagian, intelektual tradisional; para guru, dosen dan sebagainya, dan intelektual organik yaitu para profesional yang bergerak aktif. Edward Said cenderung sepakat dengan pendapat kedua sebab menurutnya menempatkan intelektual sebagai sosok ideal yang dikarunai berkah sebagai sosok profetik adalah kurang tepat.
Menurut Edward Said sendiri, intelektual adalah individu yang dikaruniai bakat mepresentasikan, mengepresikan, serta mengartikulasi pesan, pandangan sikap dan filosofi kepada publik sehingga mampu membangkitkan daya kritis orang lain, orang akan mampu menghadapi ortodoksi dan dogma, serta menimbulkan sikap yang tidak lagi mudah dikooptasi pemerintah dan korporasi. Jadi peran intelektual adalah berkata benar di garis tak berpihak. Tidak menjadi intelektual partisan. Hanya berpegang teguh pada kebenaran sebagai alasan tunggal. Kebenaran yang lepas dari golongan, dogma dan ortodoksi. Intelektual juga harus mampu membuka kedok dan menyibak yang sengaja ditutupi pemegang otoritas serta berani menyuarakan yang haq kendati konsekuensinya adalah diasingkan dan bahkan dihilangkan.
Para intelektual harus mengesampingkan bangsa dan tradisinya. Bukan berarti dalam mendukung ketertindasaan bangsannya lantas menjadikan intelektual menjadi pronasionalis yang menghendaki perlakuan penindasan yang sama secara bersamaan terhadap bangsa lain. Tugas intelektual memang merepresentasikan penderitaan kolektif serta menguniversalkan krisis. Namun, yang penting untuk dari itu semua adalah mengedepankan sentuhan humanismenya untuk diasosiasikan pengalaman itu dengan penderitaan orang lain. Bukan membangun fanatisme buta terhadap golongan. Intelektual harus berprinsip individual yang menolak hidup berkelompok serta berpandangan universal tanpa ada sekat bangsa dan tradisi, sebab kecintaanya yang sektarian mengakibatkan kebenaran yang dia perjuangkan bersifat parsial.
Bagi orang biasa pengasingan adalah nasib yang paling menyedihkan. Kehilangan tanah kelahiran dan rumah, menjadi ekspatriat dan termarjinalkan. Sebaliknya, bagi intelektual hal seperti itu sudah menjadi konsekuensi logis. Seakan intelektual sudah bersinonim dengan hal tersebut. Menjadi intelektual berarti menjadi opisisi, jadi bukan hal yang baru bagi intelektual yang menolak diakomodasi dan terkooptasi pada otoritas akan pasti diasingkan. Seperti Pramoedya Ananta Toer, Leon Trotsky, Buya Hamka, Soekarno, Hatta, Tan Malaka dan banyak tokoh lainnya.
Edward Said menjelaskan tentang profesional sebagai intelektual akademisi keluaran universitas. Edward menganggapnya sebagai para profesional tertutup. Apakah menjadi profesional itu buruk? Tentu tidak sepanjang para profesional mampu independen. Ada beberapa hal yang membuat profesional menjadi tidak menjadi sosok intelektual yang ideal. Pertama, spesialisasi. Spesialisasi membuat para profesional menolak untuk mengetahui ilmu pengetahuan lain di luar bidangnya. Menjadi pemikir yang hanya sebatas menjalankan tugasnya dan tanggung jawabnya sebagai akademisi. Kedua, pakar yang bersertifikat. Intelektual yang memuja sertifikasi sebagai indikator orang berilmu pengetahuan akan terbelenggu dalam keadaan yang menitikberatkan keintelektualitasannya hanya berdasar pada laba. Nahasnya, otoritas akan menggunakan para intelektual bersertifikat untuk mendukung kebijakannya. Jika intelektual tidak berpandangan sesuai dengan apa yang diinginkan otoritas maka dengan sendirinya kepakaran intelektualnya akan hilang.
Edward W. Said adalah seorang Palestina kelahiran Yerusalem berkebangsaan Amerika. Dia dosen sastra di Universitas Columbia sekaligus kritikus budaya yang sangat berpengaruh di dunia. Dia juga intelektual yang getol memperjuangkan hak-hak Palestina. Dia berpegang teguh pada kebenaran, bahwa sesulit apapun situasinya, kebenaran harus disampaikan. Dengan pandangan dan perjuangannya yang tak pandang bulu itu, akhirnya membuat dia memiliki nasib serupa dengan Noam Chomsky, menjadi intelektual yang diasingkan oleh komunitas para intelektual, dan bahkan seluruh dunia.
Sebelum memberikan pengertian tentang intelektual, terlebih dahulu Edward Said membandingkan dua makna intelektual dengan menggunakan pandangan pemikir Perancis Julien Benda yang menganggap intelektual sebagai sosok ideal: sang moralis dengan kegiatannya yang merupakan perlawanan terhadap realisme massa. Pandangan Antonio Gramsci yang membagi intelektual menjadi dua bagian, intelektual tradisional; para guru, dosen dan sebagainya, dan intelektual organik yaitu para profesional yang bergerak aktif. Edward Said cenderung sepakat dengan pendapat kedua sebab menurutnya menempatkan intelektual sebagai sosok ideal yang dikarunai berkah sebagai sosok profetik adalah kurang tepat.
Menurut Edward Said sendiri, intelektual adalah individu yang dikaruniai bakat mepresentasikan, mengepresikan, serta mengartikulasi pesan, pandangan sikap dan filosofi kepada publik sehingga mampu membangkitkan daya kritis orang lain, orang akan mampu menghadapi ortodoksi dan dogma, serta menimbulkan sikap yang tidak lagi mudah dikooptasi pemerintah dan korporasi. Jadi peran intelektual adalah berkata benar di garis tak berpihak. Tidak menjadi intelektual partisan. Hanya berpegang teguh pada kebenaran sebagai alasan tunggal. Kebenaran yang lepas dari golongan, dogma dan ortodoksi. Intelektual juga harus mampu membuka kedok dan menyibak yang sengaja ditutupi pemegang otoritas serta berani menyuarakan yang haq kendati konsekuensinya adalah diasingkan dan bahkan dihilangkan.
Para intelektual harus mengesampingkan bangsa dan tradisinya. Bukan berarti dalam mendukung ketertindasaan bangsannya lantas menjadikan intelektual menjadi pronasionalis yang menghendaki perlakuan penindasan yang sama secara bersamaan terhadap bangsa lain. Tugas intelektual memang merepresentasikan penderitaan kolektif serta menguniversalkan krisis. Namun, yang penting untuk dari itu semua adalah mengedepankan sentuhan humanismenya untuk diasosiasikan pengalaman itu dengan penderitaan orang lain. Bukan membangun fanatisme buta terhadap golongan. Intelektual harus berprinsip individual yang menolak hidup berkelompok serta berpandangan universal tanpa ada sekat bangsa dan tradisi, sebab kecintaanya yang sektarian mengakibatkan kebenaran yang dia perjuangkan bersifat parsial.
Bagi orang biasa pengasingan adalah nasib yang paling menyedihkan. Kehilangan tanah kelahiran dan rumah, menjadi ekspatriat dan termarjinalkan. Sebaliknya, bagi intelektual hal seperti itu sudah menjadi konsekuensi logis. Seakan intelektual sudah bersinonim dengan hal tersebut. Menjadi intelektual berarti menjadi opisisi, jadi bukan hal yang baru bagi intelektual yang menolak diakomodasi dan terkooptasi pada otoritas akan pasti diasingkan. Seperti Pramoedya Ananta Toer, Leon Trotsky, Buya Hamka, Soekarno, Hatta, Tan Malaka dan banyak tokoh lainnya.
Edward Said menjelaskan tentang profesional sebagai intelektual akademisi keluaran universitas. Edward menganggapnya sebagai para profesional tertutup. Apakah menjadi profesional itu buruk? Tentu tidak sepanjang para profesional mampu independen. Ada beberapa hal yang membuat profesional menjadi tidak menjadi sosok intelektual yang ideal. Pertama, spesialisasi. Spesialisasi membuat para profesional menolak untuk mengetahui ilmu pengetahuan lain di luar bidangnya. Menjadi pemikir yang hanya sebatas menjalankan tugasnya dan tanggung jawabnya sebagai akademisi. Kedua, pakar yang bersertifikat. Intelektual yang memuja sertifikasi sebagai indikator orang berilmu pengetahuan akan terbelenggu dalam keadaan yang menitikberatkan keintelektualitasannya hanya berdasar pada laba. Nahasnya, otoritas akan menggunakan para intelektual bersertifikat untuk mendukung kebijakannya. Jika intelektual tidak berpandangan sesuai dengan apa yang diinginkan otoritas maka dengan sendirinya kepakaran intelektualnya akan hilang.
Ketiga, menawarkan diri kepada otoritas untuk mendapatakan otoritas dalam bidangnya. Dia tidak berintelektual atas dasar ilmu pengetahuan, tetapi menghendaki resiprokalitas yang saling menguntungkan sehingga Edward menyarankan para intelektual untuk menjadi amatir. Amatir yang tidak dimaknai sebagai amatiran yang tidak ahli dalam sesuatu bidang, tetapi amatir dalam terminologi Edward adalah sikap kritis untuk mempertanyakan segala hal bahkan untuk hal yang paling elementer jika itu berkaitan dengan negara dan otoritasnya atau dalam bahasanya Edward Said disebut amatirisme.
Edward mencekam intelektual yang tidak berani mengambil sikap. Apolitis karena tak ingin terlihat kontroversial serta patuh terhadap otoritas dan dengan lugunya berharap suatu hari nanti mendapat hadiah besar berupa gelar guru besar atau gelar kehormatan. Bagi Edward itu adalah tindakan korupsi paling tertinggi untuk seorang intelektual. Intelektual harus menyuarakan kebenaran kepada kekuasaan dengan altruistik bukan berdasar sebuah kritikan tak berdasar. Itu menjadi sebuah tugas intelektual untuk mengambil peran dan memainkanya dengan baik untuk memperoleh perubahan yang benar.
Bagian terakhir dari buku peran intelektual ini, Edward Said menyinggung perihal dewa-dewa yang gagal. Menurutnya hal-hal yang dapat memengaruhi indenpendensi intelektual dalam bersikap disebut sebagai dewa. Intelektual tidak dilayani sebagai dewa dan bertindak untuk dewa. Bisa saja dewa itu adalah dogma agama, ideologi, dan yang lainnya tetapi intelektual selalu mewakili dan atau paling tidak memiliki ciri emansipasi dan pencerahaan. Intelektual yang benar adalah sudah pasti sekuler yang lepas dari pandangan-pandangan dogmatis agama tetapi bukan berarti intelektual harus ateis yang tidak memiliki keyakinan bertuhan.
***
Buku peran intelektual ini membawa kita pada sebuah kontemplasi yang panjang, bahwa untuk menjadi seorang intelektual berarti siap hidup dalam kesunyian dan kesendirian. Menjadi intelektual berarti siap akan dibenci, bahkan untuk kalangan yang kita bela. Tidak ada kebenaran yang mutlak, kecuali Tuhan, dan semua hal berpotensi untuk memiliki kesalahan. Tugas intelektual, sekali lagi, bukan mengatur manusia dan membentuk dunia tetapi menyuarakan kebenaran dengan menanggung segala resikonya sebab dari situlah dunia akan seimbang.
0 Komentar