Kritik Budaya Komunikasi

Idy Subandy Ibrahim merupakan seorang peneliti media dan budaya, yang fokus utamanya berada pada kajian komunikasi politik dan budaya populer. Buku ini diterbitkan pada tahun 2011 yang berjumlah 372 halaman, Idy berusaha memberikan kritik atau mengajukan pemikiran kritis pada budaya, media dan gaya hidup, baik pada elemen-elemen Negara maupun pada masyarakat sipil. Dalam bukunya, Idy berfokus pada sejauh  mana budaya media menjadi kekuatan dalam memberdayakan atau memperdayakan publik dalam proses demokratisasi di Indonesia. Buku ini sebagian besar berasal dari hasil penelitian dan makalah penulis yang pernah ia sampaikan dalam beberapa forum diskusi dan seminar. Sebagian awal subbab dalam buku ini juga pernah dimuat dalam beberapa jurnal dan media cetak lokal dan nasional di Indonesia.

Idy mengarahkan perhatian pada dua corak budaya komunikasi dan media. Pertama, media yang berpusat pada media itu sendiri. Media sebagai entitas bisnis, cenderung menekankan pada keuntungan bisnis semata. Pers diarahkan sebagai mesin pencetak uang, pemasok iklan, dan pemburu rating. Dalam logika budaya media sendiri, sangat sulit menempatkan kepentingan publik di atas atau setara dengan kepentingan modal dan kuasa.

Kedua, budaya media yang berpusat pada publik. Sebagai entitas ideal, media sesungguhnya bisa menjadi kekuatan penting dalam pembentukan budaya pemerintahan, politik, hukum, ekonomi, pendidikan dan lingkungan hidup yang sehat. Logika bahwa pers sebagai kekuatan signifikan dalam proses demokratisasi, memungkinkan pers berada di garis depan dalam menyuarakan kritik yang berlangsung di ruang publik. Dengan kata lain, peran media sangat dibutuhkan dalam hal ini.

Media massa, seperti surat kabar, radio, televisi dan juga Internet sebagai media baru yang paling marak saat ini digunakan masyarakat yang fungsinya memberikan informasi pada khalayak, sangat berpengaruh dalam menciptakan dan mengubah persepsi publik mengenai suatu hal, mempengaruhi perubahan perilaku, bahkan dapat membentuk suatu budaya baru, entah budaya itu mengarah pada hal-hal positif atau hal negatif.

Buku ini juga dibagi menjadi empat bagian dengan jumlah 21 bab yang masing-masing bagiannya berupaya menunjukkan berbagai krisis budaya komunikasi yang berlangsung dalam ruang publik. Krisis tersebut menjadi tanda bahwa semakin berkurangnya kemampuan kita dalam berkomunikasi secara empatik dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Maksud dari komunikasi empatik sendiri ialah bagaimana masyarakat berkomunikasi baik itu dalam bentuk komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, komunikasi interpersonal, komunikasi sosial dan komunikasi antarbudaya yang pada akhirnya tidak akan menimbulkan kesalahpahaman, sikap saling menghakimi, saling menyalahkan dan tidak menimbulkan konflik dan kekerasan.

Oleh karena itu, kemampuan komunikasi empatik sangat diperlukan mengingat budaya komunikasi dan media saat ini cenderung berpusat pada kekuasaan atau bisnis media. Kita menyaksikan bahwa media semakin memperdaya masyarakat dengan segala realitas sosial yang diciptakannya, oleh karenanya media dapat dikatakan mempengaruhi perubahan bentuk masyarakat. Buku ini juga ditutup dengan sebuah refleksi kritis yang akan mengajak kita merenungkan beberapa potensi dan tantangan budaya yang akan dihadapi bagi generasi mendatang.

Krisis Budaya Dalam Ruang Publik

Melihat fenomena maraknya krisis lingkungan yang disebabkan oleh banyak faktor, seperti persoalan sampah yang dapat menimbulkan banjir. Persoalan ini tidak dapat dilihat sebagai persoalan suatu organisasi atau golongan tetapi lebih kepada persoalan bersama yaitu kesadaran publik akan budaya merawat lingkungan, juga kesadaran suatu perusahaan atau dapat kita sebut sebagai produsen untuk menciptakan produk ramah lingkungan serta kesadaran pemerintah dan legislatif akan tanggung jawab mereka untuk menciptakan kebijakan-kebijakan yang sehat dan ramah lingkungan. “Jurnalisme hijau” sebagai bentuk advokasi yang betujuan untuk menyuarakan suara alam yang tercemar. Tidak semata demi berita lingkungan sebagai komoditas yang tren saat ini tetapi sebagai misi kemanusiaan itu sendiri.

Selain masalah lingkungan, masalah kemiskinan juga menjadi masalah sentral pada ruang publik. Kemiskinan sampai saat ini telah menjadi masalah yang belum bisa dituntaskan oleh pemerintah. Ali bin Abi Thalib mengatakan “Seandainya kemiskinan berwujud seorang manusia, niscaya aku akan membunuhnya.” Dari kutipan tersebut, dapat dikatakan bahwa kemiskinan ini bukan masalah yang dapat kita selesaikan dengan gampang. Sangat sulit memerangi kemiskinan dalam kehidupan masyarakat. Kita dapat menyaksikan potret kemiskinan di kota-kota besar di Indonesia, di desa pun juga seperti itu.

Bahkan potret kemiskinan ini dapat kita saksikan melalui liputan media yang dimunculkan dalam berita-berita. Media menyajikan berita mengenai kemiskinan dari berbagai sudut pandang mereka sebagai jurnalis, tetapi menurut Meinhof (1994), sesungguhnya masih banyak realitas kemiskinan yang tak tersaji di media. Oleh karena itu, penulis memunculkan gagasan “jurnalisme kaum miskin” sebagai bentuk perhatian pada bagaimana agar publik bisa merasakan bahwa teks media menjadi kekuatan motivasi untuk bertindak. “Jurnalisme kaum miskin” dapai dikatakan sebagai wahana untuk ikut berjuang memberikan harapan bagi kehidupan yang kebih baik bagi anak-anak kaum miskin di Indonesia. Jurnalisme untuk kaum miskin bisa membuka ruang dialog untuk ditemukannya cara-cara terbaik untuk menciptakan peluang bagi rakyat agar bisa hidup secara layak. Para jurnalis dan elit media diharapkan untuk selalu berada pada garis depan dalam mengangkat persoalan kemiskinan di ruang publik, untuk mengurangi kemiskinan sendiri, pemerintah dan pers harus memberikan akses seluas luasnya bagi kaum miskin dan kaum tak bersuara agar suara mereka didengar.

Penulis mengatakan bahwa pers adalah identitas bisnis. Sebagai entitas bisnis, pers hidup dengan menjual informasi kepada publik. Sebagaimana bisnis lainnya, motivasi utama perusahaan pers adalah mendapatkan keuntungan finansial sebesar-besarnya. Di Indonesia sendiri, perusahaan media besar dikuasai oleh para oligark yang mempunyai kekuasaan besar baik itu dalam kepentingan ekonomi maupun politik. Berita-berita yang disajikan dalam media pun sangat kental dalam memperlihatkan keberpihakan pada suatu tokoh/golongan/partai tertentu.

Penulis memberikan pandangan kritis terhadap pers yang saat ini menjelma menjadi semata-mata mesin bisnis penghasil kapital yang memberi keuntungan banyak kepada pemilik modalnya dan juga pada pandangan bahwa pers melupakan misinya dalam memberi informasi yang kritis dan cerdas kepada masyarakat. Pers dalam melakukan tugasnya, harusnya menerapkan teknik cover both sides, yaitu meliput suatu peristiwa dari dua sisi supaya seimbang, sehingga fakta berita tidak digantikan oleh opini, realitas tidak digantikan oleh ilusi, dan kebenaran tidak dimanipulasi.

Goran Hedebro sebagai salah satu pakar kritisi media mengungkapkan bahwa media adalah pembentuk kesadaran sosial yang pada akhirnya menentukan persepsi orang terhadap dunia dan masyarakat tempat mereka hidup. Dalam perkembangannya, media massa memberikan andil yang besar dalam mengindahkan suatu kenyataan sosial. Media massa juga turut andil dalam mempengaruhi perubahan bentuk masyarakat. Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa media massa (televisi) telah menjadi orang tua kedua (bahkan pertama) bagi anak-anak, guru bagi penontonnya, penghibur bagi yang frustasi, dan pemimpin spiritual yang dengan halus menyampaikan nilai-nilai dan mitos tentang lingkungan.

Begitu besarnya peran media massa dalam kehidupan masyarakat, media massa benar-benar memiliki kekuatan dalam membentuk suatu kesadaran sosial dalam masyarakat yang nantinya akan membentuk persepsi-persepsi masyarakat terhadap kehidupan mereka dan tempat mereka hidup. Penulis menekankan media massa sebagai agen komersialisasi budaya di mana nilai yang terpenting adalah komersial dan daya hidupnya adalah pasar. Ketika komersialisasi ini terus menerus berjalan, media dapat dianggap sebagai ancaman, karena pesan yang ada pada media massa ini hanya tunduk pada sekelompok orang yang kemungkinan besarnya akan mendistorsi bahasa atau pesan media yang disajikan dengan tujuan untuk mengendalikan pikiran khalayak dalam memahami realitas.

Bagian penutup dari pembahasan krisis budaya dalam ruang publik ialah mengenai ajakan kritis dari penulis untuk mengarahkan pemberitaan dari “the person centered” menuju “the event centered.” Berbicara mengenai berita, berita dapat dikatakan sebagai sebuah konstruksi. Berita merupakan konstruksi sosial yang melibatkan berbagai kepentingan dalam isi pemberitaannya. Bukan hanya pandangan jurnalis saja yang terlibat dalam isi berita, tetapi juga para pemilik modal yang ikut menentukan berita tersebut layak disebarluaskan atau tidak. Berbeda dengan jurnalis yang bekerja di lapangan, para pemilik modal ini bekerja di ruang redaksi.

Media dalam pemberitaannya tidak luput dari kefokusan pada satu orang yang mungkin cukup terkenal di kalangan masyarakat, seperti contoh Pidato SBY pada 23 November 2009 yang menanggapi konflik KPK-Kepolisian yang menyita perhatian media. Beberapa media menyoroti ketidaktegasan SBY dalam pidato tersebut, kemudian media lain menyoroti sikap SBY yang membingungkan dalam pidato tersebut. Pemberitaan dari berbagai media tersebut menimbulkan beberapa perspektif yang berbeda. Itulah salah satu contoh praktik pemberitaan “the person centered” yang lebih kuat tekanannya dan lebih banyak diberitakan media dibanding praktik pemberitaan “the event centered.” Penulis memaparkan beberapa kemungkinan mengapa tekan berita pada orang (person) lebih kuat dibandingkan pada peristiwa (event), yang pertama ialah personalisasi, media khususnya jurnalis cenderung melakukan personalisasi pada pemberitaannya karena pengaruh subjektivitas individual yang begitu kuat. Kedua, emosionalisasi. Jurnalis tidak mungkin bisa menghindar dari keterlibatan perasaan atau emosi yang mendalam dengan sumber berita. Ketiga, dramatisasi. Media dikonstruksi sebagai panggung pribadi. Keempat ialah sensasionalisasi. Media khususnya televisi sangat sering menjual hal-hal yang bersifat sensasional.

Mediakrasi dan Kekerasan di Ruang Publik

Mediakrasi dikaitkan antara relasi media dan demokrasi, antara relasi teknologi dan demokrasi. Mediakrasi bertujuan untuk menunjukkan bahwa media komunikasi dengan dukungan teknologi telah menjadi semacam kekuatan yaitu sebagai kekuatan media atau pemerintahan media. Kaitan antara media dan kekuasaan tidak bisa dipisahkan. Media dianggap sebagai alat kekuasaan dan sekaligus menjadi kekuasaan itu sendiri. Fenomena mediakrasi dalam dunia politik dianggap sebagai sisi gelap dari kemajuan teknologi komunikasi baru. Pertanyaannya, apakah media bisa menopang teknologi demokrasi atau menjadikan media sebagai teknologi kekuasaan yang ada dalam genggaman sekelompok penguasa?

Media, tak lepas dari keterkaitan televisi sebagai salah satu bagian dari media massa, bagian ini membahas mengenai kekerasan yang ditayangkan oleh televisi yang sampai saat ini masih terus membudaya. Kekerasan masih menjadi tontonan, acara di televisi tidak jarang memunculkan wacana kekerasan dalam bentuk action. Bentuk kekerasanpun masih sering kita temui dalam berbagai bentuk baik kekerasan fisik maupun non-fisik, baik kekerasan verbal maupun visual. Jika kita pahami lebih dalam, kekerasan yang ditayangkan melalui acara televisi yang menampilkan aksi dan korban kekerasan akan ditiru oleh penonton di tempat lain. Penulis memberikan kritik mengenai pementasan kekerasan yang marak dijadikan cara untuk mengkomunikasikan pesan peringatan, ancaman, dan teror dari suatu kelompok ke kelompok lain. Kekerasan dianggap sebagai hiburan, padahal jika visualisasi aksi kekerasan yang berlangsung dramatis dalam tayangan televisi akan berakibat pada trauma psikologis dan sosial bagi penontonnya, terutama anak-anak.

Masih pada topik kekerasan, ada suatu istilah yang muncul dalam potret kekerasan yaitu “pornografi kekerasan” atau “pornografi kebrutalan.” Pornografi kekerasan muncul ketika orang tidak merasa sungkan, malu apalagi takut untuk melakukan kekerasan. Mereka menganggap kekerasan sebagai aktualisasi diri dan sebagai simbol kejahatan. Bentuk aksi pornografi kekerasan bisa dilihat pada fenomena tawuran dengan segerombolan anak muda yang ingin terlihat hebat dengan melakukan kekerasan. Fenomena tawuran tak jarang disorot dalam pemberitaan televisi yang mana pelaku tawuran diwawancarai dan dengan bangganya mereka muncul dalam pemberitaan tanpa menunjukkan ekspresi kebersalahan. Dalam budaya media massa sendiri, segala hal bisa menjadi berita, termasuk kekerasan.

Pemberitaan dan tayangan kekerasan pada media yang menjadi bagian dari suatu konstruksi sosial oleh para kelompok atau elit media yang berkuasa jelas tujuannya untuk menggiring para pembaca, pendengar, dan pemirsa memiliki kesan dan citra tertentu terhadap suatu peristiwa atau suatu sosok tertentu. Media tidak hanya memberitakan sebuah kejadian apa adanya, tetapi mereka juga terlibat dalam konstruksi realitas. Mereka sengaja mengkonstruksikan kejadian atau peristiwa, fakta, memilih narasumber, mengambil sudut padang tulisan atau gambar, memilih kutipan dan menarik kesimpulan untuk membingkai berita tersebut secara signifikan. Tayangan kekerasan merupakan salah satu konstruksi atas realitas kekerasan itu sendiri di media dalam bentuk wacana atau citra.

Sebagai bagian dari kekerasan sendiri, penulis membahas mengenai media dan teater terorisme. Terorisme secara singkat dapat dirumuskan sebagai “puncak kekerasan.” Kekerasan bisa saja terjadi tanpa teror tetapi tidak ada teror yang tidak disertai dengan kekerasan. Media dengan kemampuan publisitasnya, informasi apapun dapat kita dapatkan termasuk informasi mengenai terorisme. Tetapi beberapa informasi yang diberitakan tidak semuanya akan membuat kita tercerahkan atau well-informed, tetapi dapat menciptakan kerapuhan emosional sebagai dampak psikologis dari budaya ilusi yang paling nyata bagi kesadaran.

Hedonisme dan Budaya Media di Ruang Publik

Harold D. Lasswell sebagai salah satu pakar komunikasi pernah mengatakan bahwa media massa telah menggantikan katedral dan gereja masa lalu sebagai guru bagi anak muda masa kini. Itu berarti bahwa media massa telah menjadi salah satu tempat yang dijadikan kiblat bagi anak muda untuk meniru banyaknya kebiasaan dan perilaku yang ditayangkan oleh media massa. Prof. Deddy Mulyana pun mengatakan bahwa dulunya televisi menjadi saluran propaganda penguasa, maka setelah tahun 1990-an, televisi menjadi sarana mempromosikan gaya hidup hedonistik.

Televisi merupakan media pencitraan yang dinilai kuat karena dalam berbagai momen yang ditayangkan terlihat penting dan terkesan dramatis, oleh karenanya televisi sering dimanfaatkan untuk membangun dan memanipulasi citra. Penulis memaparkan bahwa dulu televisi dikatakan ideologis karena mengajarkan budaya afirmatid dan konformistik. Saat ini, televisi dapat pula dikatakan hedonis karena menganjurkan budaya permisif dan konsumtif. Budaya hedonis yang dimaksud adalah beberapa tayangan dalam program televisi yang menawarkan gaya hidup serba mewah, serba kemilau dan menyenangkan. Tayangan televisi hedonis mengajarkan masyarakat agar senang berbelanja dan memanfaatkan waktu luang untuk bersenang-senang.

Televisi dikatakan sebagai lembaga pendidikan imajiner anak-anak zaman modern, yang terkontaminasi pada realitas yang dikonstruksi oleh media. Salah satunya melalui tayangan iklan. Iklan yang semula dimaksudkan hanya sekedar menginformasikan produk baru dari sebuah perusahaan, ternyata berubah menjadi bentuk pencitraan dan perekayasaan komoditas melalui media. Media berprinsip bahwa citra, lebih penting dari realitas yang sebenarnya. Bahkan citra menjadi sebuah realitas baru.

Televisi berfungsi dalam memberikan informasi, mendidik, menghibur dan juga mempengaruhi. Fungsi tersebut telah dipenuhi dalam tayangan yang ditujukan pada masyarakat meskipun dengan proses dan tujuan yang sebagian besarnya mengarah kepada keuntungan semata, tetapi menurut penulis ada satu fungsi yang sering terabaikan yaitu televisi sebagai benteng budaya. Salah satu penyebab krisis budaya adalah sebagian besar acara televisi masih didominasi oleh hiburan yang didalamnya terdapat kepentingan politik dan bisnis.

Perang Budaya Citra di Ruang Publik

Citra perempuan dikatakan sebagai konstruksi budaya media, di mana citra perempuan ideal menjadi standar budaya mengenai bentuk umum kecantikan pada perempuan. Citra tersebut membawa pada siksaan batin perempuan terutama jika mereka tidak berhasil memenuhi standar ukuran tubuh ideal, wajah ideal, kecantikan ideal sebagaimana yang dikonstruksi oleh media. Sebenarnya media mengkonstruksi kriteria ideal tersebut karena media berkiblat pada ideologi pasar kapitalis, dengan tujuan meraup untung sebanyak-banyaknya. Media menjadikan wanita sebagai salah satu objek sekaligus sebagai sebuah komoditas.

Sebagai salah satu contoh, maraknya iklan pemutih kulit dan wajah sebagai ajakan bagi para perempuan yang kulitnya sawo matang misalnya, mereka terkonstruksi oleh iklan sehingga terpengaruh untuk menjadikan kulit dan wajah putih sebagai kriteria perempuan ideal. Iklan berkembang sebagai fenomena sosial budaya dalam masyarakat yang mengandalkan penyebarannya melalui media massa. Begitu besarnya pengaruh bujuk rayu iklan dalam merepresentasikan seperti apa perempuan ideal itu kepada khalayak. Bagaimana tidak, iklan menjadi semacam mitos yang membuat orang membayangkan posisi dirinya seperti tercermin dari citra iklan. Khalayak tidak lagi melihat apakah secara praktis sebuah produk itu bermanfaat bagi dirinya tapi bagaimana citra diri mereka bisa sejajar dengan figur atau tokoh dalam iklan tersebut. Para pengiklan memanfaatkan kekuatan pencitraan suatu produk yang dipasarkan secara berulang-ulang dengan media massa sehingga iklan menjadi realitas baru dari produk komoditas yang dimediakan. Iklan juga memoles realitas syatu barang yang bernilai ekonomis sehingga membangun citra yang tak jarang terkesan melebih-lebihkan nilai barang yang diiklankan.

Ancaman perang budaya juga dikaitkan dalam media anak. Media anak mengalami revolusi baik dalam hal isi maupun tata letak. Media dianggap telah menjadikan anak-anak tidak lebih dari sebagai komoditas. Anak-anak diposisikan sebagai konsumen dan mereka ditempatkan sebagai pembeli. Jika ditelaah lebih dalam lagi, media massa dalam hal ini khususnya televisi sangat mampu mempengaruhi cara berfikir dan berperilaku anak-anak. Anak-anak disuguhkan dengan tayangan-tayangan televisi di mana mereka dapat meniru beberapa bahkan segala adegan yang ada dalam tayangan tersebut karena cara belajar anak-anak yang pertama adalah dengan meniru. Televisi menjadi salah satu ruang peniruan anak-anak dan secara langsung menjadikan mereka sebagai konsumen media.

Bagian dari perang budaya citra diruang publik ditutup dengan pertanyaan “hidup untuk gaya atau gaya untuk hidup?.” Yang dimaksud penulis berfokus pada konsep kajian budaya dan media, di mana istilah gaya hidup dimaknai sebagai konsep yang kompleks, gaya hidup dimaknai oleh masyarakat dengan cara yang berbeda-beda. Gaya hidup dilihat sebagai wujud paling ekspresif dari bagaimana cara manusia menjalani dan memaknai kehidupannya. Salah satu cara memahami perkembangan gaya hidup adalah melihat kategori generasi dan ekspresi gaya hidupnya, kode-kode simboliknya dan bagaimana praktik konsumsinya. Penulis memotret dua corak generasi yang muncul dalam masyarakat Indonesia yaitu Generasi Ne(X)t, yang dikatakan sebagai generasi masa depan. Generasi Net merujuk pada perkembangan dan kemajuan teknologi khususnya internet. Generasi ini dikatakan sebagai “media-literate kids” atau anak-anak yang media. Perbedaan generasi ini dengan generasi sebelumnya ialah generasi ini tumbuh dan berkembang dalam lingkungan media digital. Kemudian Generasi Hijau, generasi yang mempraktikkan gaya hidup hijau. Generasi ini muncul karena kesadaran mereka akan pentingnya lingkungan hidup yag sehat dan meningkatnya keprihatinan mereka terhadap krisis lingkungan hidup yang dialami Indonesia beberapa dasawarsa terakhir ini.

Penulis menutup buku ini dengan sebuah refleksi kritis yang bertujuan tujuan untuk mengajak kita merenungkan mengenai potensi dan tantangan budaya bagi generasi mendatang. Penulis mengajak kita membangun budaya alternatif yang dapat dipraktikkan di rumah, sekolah, ruang kerja, tempat ibadah, tempat umum dan di semua ruang kehidupan sehari-hari. Budaya tersebut dinamai penulis dengan “10 Sikap Kesadaran dan Budaya Positif” yang didalamnya berupa (1) budaya feodal lawan budaya egaliter; (2) budaya instan lawan budaya kerja keras; (3) budaya kulit lawan budaya isi; (4) budaya penampilan lawan budaya hidup sederhana; (5) budaya boros lawan budaya hemat; (6) budaya apati lawan budaya empati; (7) budaya konsumtif lawan budaya produktif; (8) budaya bersih lawan budaya sampah; (9) budaya antri lawan budaya terabas; (10) budaya kompetisi lawan budaya kerjasama.

Posting Komentar

0 Komentar