Mengapa Negara Gagal


Seperti judulnya, buku ini membahas tentang awal mula kekuasaan, kemakmuran, dan kemiskinan yang terjadi di pelbagai Negara di dunia sekitar lima abad terakhir. Daron Acemoglu dan James A. Robinson, sebagai tim penulis, tak lupa pula menjabarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kemakmuran dan kemiskinan suatu Negara. Di akhir bukunya, mereka memaparkan perkiraan kemakmuran dan kegagalan beberapa Negara di masa depan.

Begitu Dekat Namun Sungguh Berbeda

Dua kota yang memiliki akar kebudayaan yang sama, yaitu Nogales Arizona di Amerika Serikat dengan Nogales Sonora di Meksiko merupakan batas kedua Negara. Sayangnya, batas Negara tersebut juga menjadi pembatas antara kesenjangan ekonomi dan pendidikan di dua kota tersebut. Jika ditarik beberapa abad ke belakang, Meksiko dijajah oleh insitusi politik-ekonomi Spanyol, sementara Amerika Serikat dijajah oleh institusi politik-ekonomi Inggris. Sebelum penjajahan, Meksiko merupakan bangsa kaya di bawah pengaruh kerajaan Aztec, sementara Amerika masih merupakan tanah tandus yang dihuni oleh suku pribumi Indian.

Jika ditinjau kepada skala yang lebih luas, Amerika Latin yang pada abab 15 merupakan gugusan bangsa kaya yang diperintah oleh kerajaan-kerajaan besar seperti Aztec, Maya, hingga Inca, mulai menemukan titik mundurnya ketika bangsa Spanyol menjajah benua Amerika bagian selatan tersebut. Sementara pada abad 16, tanah tandus Amerika yang dihuni suku pribumi Indian perlahan semakin inklusif dan plural akibat sinergitas pendatang dari Eropa, utamanya pedagang Inggris yang berinovasi dengan pinjaman Bank, untuk melawan hegemoni kolonialisme Inggris, yang bermula di Kota Jamestown. Dari Majelis Umum di Jamestown pada tahun 1619 berkembang menjadi sebuh dokumen konsitusi pertama dan termodern di benua tersebut pada 1787.[1]

Teori-Teori yang Tidak Terbukti

Apa yang menyebabkan suatu Negara miskin dan Negara lainnya justru kaya? Sebagian pakar memaparkan hipotesis geografi, bahwa iklim yang begitu panas atau kelewat dingin, kurangnya keanekaragaman tumbuhan, buasnya hewan, dan terisolirnya suatu daerah menyebabkan Negara tertentu menjadi Negara miskin. Tapi nyatanya, negara Qatar, Bostwana di sub sahara Afrika, dan Australia justru tumbuh menjadi salah satu negara depan pendapatan per kapita yang tinggi di antara negara-negara dunia saat ini.

Ada pula pakar yang memaparkan hipotesis kebudayaan, bahwa negara miskin karena tradisi masyarakat setempat, misalnya keyakinan lokal, bahasa, kesenian, dan elemen kebudayaan lainnya. Hipotesis kebudayaan ada benarnya, jika kebudayaan yang dimaksud adalah bagaimana masyarakat mengornisir sistem mata pencaharian dan sistem kemasyarakatannya. Namun, jika yang dimaksud adalah bahasa dan sistem keyakinan, misalnya agama Kristen di Eropa yang menyebabkan negara Eropa kaya dan agama Islam di Timur Tengah yang menyebabkan negara teluk miskin, hal itu tidak relevan dengan fakta yang ada sekarang. Karena Arab Saudi, Iran, dan Qatar tumbuh berkembang, sementara beberapa negara di Amerika Selatan, Eropa Timur, dan Afrika justru terancam gagal.

Sementara ada pula pakar yang memaparkan hipotesis kebodohan, bahwa negara miskin disebabkan masyarakat, dan utamanya pemimpin pada negara tersebut merupakan orang-orang yang rendah tingkat pendidikannya. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan agar negara sejahtera. Namun, kehadiran tim ahli dan berpendidikan tinggi kelas dunia yang menjadi staf profesional di samping presiden atau raja, sebenarnya cukup membantu dapat merancang kebijakan demi kesejahteraan negara. Pertanyaannya kemudian, apakah pemimpin politik tersebut mau dan konsisten dalam menerapkan kebijakan tersebut? Kebanyakan tentu tidak, karena hal ini akan menggoyang kepentingan politik dan ekonominya, maka terpaksa mereka tidak menerapkan kebijakan pro rakyat demi mempertahankan status qou.

Satu-satunya faktor yang menyebabkan sejahtera atau miskinnya suatu negara adalah insitusi ekonomi dan politiknya. Jika insitusi ekonomi dan politiknya inklusif, perlahan negara tersebut tumbuh menjadi negara sejahtera. Begitupun sebaliknya, jika institusi ekonomi dan politiknya ekstraktif, tinggal menunggu waktu negara tersebut akan menjadi miskin, bahkan gagal.

Proses Terjadinya Kemakmuran dan Kemiskinan

Mesin bagi institusi ekonomi dan politik yang inklusif adalah teknologi dan pendidikan. Peran teknologi sukses menciptakan revolusi di Inggris yang bergema ke seluruh dunia. Begitupun pendidikan, sukses menumbangkan rezim Pahlevi dalam revolusi Islam Iran yang sarat akan pesan-pesan filosofis, spiritual, dan paradigmatik. Maka, satu-satunya pilihan yang tersisa bagi rezim diktator adalah menghambat penghancuran reaktif, suatu disrupsi dalam bidang teknologi dan pendidikan. Merusak mesin kemakmuran tersebut merupakan sebab bagi nestapa panjang bangsa Kongo, sub-sahara Afrika lainnya, dan pelbagai negara yang dicengkram oleh rezim despotik.

Beberapa Perbedaan Kecil dan Episode Sejarah yang Menentukan

Pada tahun 1346, terdapat petaka yang mengubah wajah dunia, yaitu gelombang penyakit pes mematikan yang melanda Eropa, yang kemudian disebut The Black Death. Seluruh Eropa dilanda wabah mematikan ini, tak terkecuali Inggris. Hanya saja, eksodus petani Eropa ke daerah kota justru tidak terjadi di Inggris. Dengan negosiasi upah dan hak tertentu, petani Inggris sukses memulai kemakmuran negara tersebut. Rangkaian perjuangan demi perjuangan rakyat inggris, mulai dari Magna Charta, Glorius Revolution, hingga revolusi Industri, adalah asal muasal kemakmuran bangsa Inggris yang kita saksikan 500 tahun terakhir.  Perbedaan-perbedaan kecil dan tidak pastinya arah sejarah merupakan hal lain yang membangkitkan kemakmuran suatu bangsa. Untuk meningkatkan pertumbuhan dan menjaga dominasi, Inggris tampil sebagai negara penjajah paling berpengaruh dalam setengah millennium belakangan.

Benua Eropa yang Terbelah

Venesia, Italia, yang dulu makmur, kini menjadi museum sejarah belaka dikarenakan ekstraktifnya institusi ekonomi dan politiknya. Seperti kisah pendahulunya, ksatria roma yang membangun imperium Romawi akhirnya tumbang karena begal-begal romawi. Pertumbuhan abortif, tidak akan berumur panjang, yaitu pertumbuhan ekonomi yang inklusif di bawah rezim politik yang ekstraktif. Kita telah menyaksikan contoh dari Venesia, Uni Soviet abad 20, dan China masa kini.

Titik Balik Sejarah yang Menentukan

Salah satu penemuan teknologi yang mengancam kekuasaan dan menjadi penentu titik balik sejarah adalah ditemukannya mesin cetak oleh Johannes Gutenberg di Jerman. Publikasi dan masifikasi gagasan kerakyatan menjadi cepat tersebar di seantero Eropa yang menjadi katalis perubahan sosial. Konflik politik yang tak berkesudahan menyebabkan tumbangnya kekuasaan absolut monarki. Rentetan peristiwa tersebut mengantarkan pada revolusi industri yang akhirnya berawal di Inggris.

Jangan Ganggu Daerah Kekuasaan Kami: Berbagai Kendala yang Menghambat Kemajuan

Seperti yang dijelaskan tadi, bahwa rezim ekstraktif pasti menghambat inovasi. Hal itulah yang mendasari Kekaisaran Ottoman, di Turki, pada abad 15 untuk mengharamkan teknologi cetak press.  Pelarangan tersebut merupakan fobia penguasa terhadap industri. Begitupun China dibawah pengaruh kekuasaan Dinasti Ming dan Qing yang melarang pelayaran, baik demi tujuan perdagangan, maupun lainnya.

Pertumbuhan yang Pupus di Tengah Jalan

Pencerahan di Eropa ternyata memiliki sisi kelam tersendiri. Selain kecamuk perang antara sesama bangsa Eropa, benua tersebut juga merupakan benua yang paling gemar menjajah dan mengeksploitasi bangsa lain. Genosida demi kepentingan rempah-rempah merupakan salah satu motif dasar bangsa Eropa menjajah Asia, Timur Tengah, dan Amerika Latin. Tidak cukup sampai di situ, bangsa Eropa juga melanggengkan, bahkan mengimpir budak dari Afrika ke Eropa dan Amerika. Jika perbudakan telah dihapuskan, politik partheid atau rasial kemudian menjadi penggantinya.

Pemerataan Kemakmuran

Penjajahan di Australia, menyimpan sejarah tersendiri. Di benua tersebut, justru para napi yang menjadi “pahlawan” dalam membangun institusi ekonomi dan poliltik yang inklusif untuk melawan hegemoni kolonialisme Inggris, yang kemudian merintis negara Australia. Begitupun dengan revolusi Prancis, pemerataan kemakmuran bermula dari slogan revolusi fraternite, egalite, dan liberte. Sinergitas rakyat dengan kaum borjuis awal akhirnya menumbangkan feodalisme dan fundamentalisme gereja di Prancis. Sayangnya, impor revolusi Prancis ke seluruh penjuru dunia, khususnya di Eropa, justru dipimpin oleh diktator yang bermana Napoleon Bonaparte. Di Asia Timur, tepatnya Jepang, pada 3 Januari 1868, mekarlah suatu perubahan sosial yang dikenal sebagai restorasi Meiji, yang dilakukan oleh ksatria Jepang terhadap Shogun yang berkuasa pada waktu itu.[2]

Lingkaran Kebijakan dan Lingkaran Setan

Pembangunan institusi ekonomi dan politik yang inklusif merupakan buah dari komitmen atas penegakan lingkaran kebijakan, suatu kontrak sosial antara rakyat, dan penguasa, baik penguasa ekonomi, termasuk penguasa politik. Sementara itu, langgengnya institusi ekonomi dan politik yang ekstraktif justru semakin memperkuat lingkaran setan antara perampok-perampok politik dan ekonomi. Dan siklus tersebut merupakan hukum besi oligarki. Jadi, inklusivitas institusi melahirkan lingkaran kebijakan yang menyejahterakan rakyat. Sementara ekstraktivitas institusi melahirkan lingkaran setan yang menyengsarakan rakyat.  Lingkaran kebijakan berjalan baik dengan kemandirian institusi peradilan. Sementara lingkaran setan semakin menggurita dengan mengintervensi institusi peradilan.

Biang Kegagalan Negara Pada Zaman Sekarang

Bulan Januari 2000 Zimbabwe Banking Operation mengundi hadiah senilai 100.000 dollar Zimbabwe. Rakyat Zimbabwe, bahkan dunia yang mendengar berita tersebut, tertegun menahan tawa ironis. Betapa tidak, pemenang undian adalah yang mulia Robert Mugabe, Presiden yang berkuasa dengan tangan besi sejak 1980. Hadiah hasil undian akal-akalan tersebut terhitung lima kali lipat dari pendapatan perkapita tahunan negara tersebut. [3] Jadi, biang kegagalan negara dari zaman dulu sampai sekarang adalah absolutisme dalam segala lini kehidupan masyarakat oleh pemerintah yang berkuasa. Zaman berganti, gaya absolutis rezim tersebut juga mesti menyesuaikan dengan perubahan zaman. Penekanan melalui upaya hegemoni (penjajahan alam bawah sadar) lebih menjadi pilihan rezim dewasa ini, menurut Gramschi. Kongkalikong antara penguasa dan pengusaha yang bisa ditaklukkan oleh civil society, seperti LSM, Ormas, OKP, serikat buruh, asosiasi profesi dan lembaga yang tidak sub ordinat terhadap pemerintah dan pebisnis.

Mengubah Sejarah yang Kelam

Tiga kepala suku yang mencari bantuan politik dan ekonomi ke London pada tanggal 6 September 1895 akhirnya berjasa mendirikan salah satu negara termakmur di sub sahara Afrika, yaitu negara Botswana. Begitupun juga dengan perjuangan buruh yang terorganisir di Brazil, berhasil menjadikan Brazil menjadi salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia, belakangan ini. Sementara di China, meningalnya pemimpin besar Mao, gagalnya revolusi kebudayaan, konflik internal partai tunggal komunis, dan manuver Deng Xiao Ping, berujung pada swastanisasi ekonomi di China pada dekade 1990. Meskipun masih dikuasai oleh rezim ekstraktif, dengan inklusivitas institusi ekonominya, China tumbuh dengan ekonomi tertinggi di dunia saat ini. Hanya saja, menurut beberapa pakar, jika China tidak mengubah institusi politiknya menjadi lebih inklusif, nasibnya akan serupa dengan kakak kandungnya, Uni Soviet pada awal abad 20, yang menuai kehancurannya pada tahun 1989.

Memahami Asal Muasal Kemakmuran dan Kemiskinan

Kemakmuran tidak bisa direkayasa dengan hanya memberi subsidi bagi rakyat pra sejahtera, menambah utang luar negeri, atau mengharap dana hibah internasional.  Seluruh anggaran, baik dari dalam, maupun luar negeri, yang tidak berusaha membangun inklusivitas insitusi politik dan ekonomi di suatu negara, hanya akan berumur pendek, atau bahkan sia-sia.

 Selain harus tepat sasaran, pemberdayaan seluruh elemen masyarakat adalah prasyarat wajib lainnya yang mesti dilakukan. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer “didiklah penguasa dengan kritik, dan didiklah masyarakat dengan organisasi.” Lembaga swadaya yang profesional dan mandiri dari intervensi pemerintah dan bisnis adalah subyek yang tepat untuk mengisi tanggung jawab tersebut. Inilah tanggung jawab para intelektual dan melakukan transformasi sosial, kata Ali Syari’ati. Kalaupun mesti berkolaborasi dengan pemerintah dan pelaku usaha, sinergitas yang lahir haruslah demi kemaslahatan masyarakat, bukan demi tujuan politik dan ekonomi. LSM terkait juga harus mandiri dalam mendirikan sendiri media, lembaga penerbitan, lembaga pendidikan, hingga lembaga wirausaha berbasis koperasi demi menjaga independensi dan integritas. Dengan sinergitas dan keseimbangan tiga poros kekuasaan baru ini, (pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat sipil), akan tercipta suatu negara yang berdaulat secara politik, sejahtera secara ekonomi, dan berkeadilan secara sosial-kemasyarakatan.


[1] Daron Acemmoglu dan James A. Robinson. Mengapa Negara Gagal. Gramedia, Jakarta. 2017, hal 25
[2] Ibid,hal 344.
[3] Ibid, hal 429.

Posting Komentar

0 Komentar